Kisah Asal Usul Sultan Trenggono dari Kerajaan Demak
Trenggana alias Tung Ka Lo (lahir: 1483; wafat: 1546) adalah raja Demak ketiga, yang memerintah tahun 1505-1518, kemudian tahun 1521-1546. Di antara kedua masa tahta tersebut, Demak dipimpin ipar Trenggana, Pati Unus dari Jepara. Trenggana menikah dengan putri dari bupati Palembang Arya Damar (ayah Kin San/Raden Kusen).
Di bawah Trenggana, wilayah kekuasaan Demak meluas sampai ke Jawa Timur.
Gelar "Sultan" yang diberinya dalam tradisi Jawa sebetulnya belum disandang pada masa itu. Di Jawa, penguasa yang pertama memakai gelar "Sultan" adalah Pangeran Ratudari Banten, tahun 1638.
BIOGRAFI SULTAN TRENGGONO
Dalam tradisi Jawa, Trenggana adalah putra Raden Patah pendiri Demak yang lahir dari permaisuri Ratu Asyikah putri Sunan Ampel. Menurut Suma Oriental, ia dilahirkan sekitar tahun 1483. Ia merupakan adik kandung Pangeran Sabrang Lor/Raden Surya/Sultan Surya Alam, raja Demak sebelumnya (versi Serat Kanda).
Trenggana memiliki beberapa orang putra dan putri. Diantaranya yang paling terkenal ialah Sunan Prawoto yang menjadi raja penggantinya, Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati Jepara, Ratu Mas Cempaka yang menjadi istri Sultan Hadiwijaya, dan Pangeran Timur yang berkuasa sebagai adipati di wilayah Madiun dengan gelar Rangga Jumena.
KENAIKAN TAHTA
Sepeninggal Pangeran Sabrang Lor tahun 1521 terjadi perebutan takhta antara kedua adiknya, yaitu Raden Kikin dan Raden Trenggana. Putra sulung Trenggana yaitu Raden Mukmin alias Muk Ming (nama kecil Sunan Prawoto) mengirim utusan membunuh Raden Kikin di tepi sungai. Sejak itu Raden Kikin terkenal sebagai Pangeran Sekar Seda ing Lepen (artinya, "bunga yang gugur di sungai").
Pada tahun 1524 datang seorang pemuda dari Pasai bernama Fatahillah. Trenggana menyukainya dan menikahkan pemuda itu dengan adiknya, yaitu Ratu Pembayun (janda Pangeran Jayakelana putra Sunan Gunung Jati).
Sebaliknya, Fatahillah juga memperkenalkan pemakaian gelar bernuansa Arab sebagaimana yang lazim dipakai oleh raja-raja Islam di Sumatra. Maka, Trenggana kemudian juga bergelar Sultan Ahmad Abdullah Arifin.
Tokoh Fatahillah inilah yang pada tahun 1527 dikirim membantu Sunan Gunung Jati raja Cirebon menghadapi Pajajaran dan Portugis. Ia berhasil membebaskan pelabuhan Sunda Kelapa dan mengganti namanya menjadi Jayakarta atau Jakarta.
PENAKLUKAN MAJAPAHIT
Upacara pernikahan Fatahillah tahun 1524 dikejutkan dengan berita kematian Sunan Ngudung dalam perang melawan Majapahit. Adapun ibu kota Majapahit saat itu sudah pindah ke Daha di bawah pemerintahan Girindrawardhana. Raja Majapahit ini hanyalah bersifat simbol, karena pemerintahan dikendalikan penuh oleh Patih Hudara. Sang Patih juga menjalin persahabatan dengan Portugis untuk memerangi Demak.
Akhirnya pada tahun 1527 pasukan Demakdipimpin Sunan Kudus (putra Sunan Ngudung) berhasil mengalahkan Majapahit. Kerajaan yang pernah berjaya pada masa lalu itu akhirnya musnah sama sekali. Terjadi arus pelarian besar-besaran dari kerabat kerajaan Majapahit, hal ini disebabkan mereka takut akan dihukum karena dukungan mereka pada Girindrawardhana saat ia mengkudeta Brawijaya pada tahun 1478.
Tampaknya ibukota Daha juga mengalami nasib yang sama dengan Trowulan, hal ini merupakan pembalasan keturunan Brawijaya yang menjadi penguasa Demak atas tindakan Girindrawardhana pada saat ia merebut tahta Majapahit.
Selain itu Tuban juga ditaklukkan pada tahun yang sama. Penguasa Tuban menurut catatan Portugis bernama Pate Vira, seorang muslimtetapi setia kepada Majapahit. Berita ini menunjukkan kalau perang antara Demak dan Majapahit dilandasi persaingan kekuasaan, bukan karena sentimen antara agama Islamdan Hindu.
Pada tahun 1528 Trenggana menaklukkan Wirasari, kemudian Gagelang atau Gelanggelang (nama sekarang: Madiun) tahun 1529, Medangkungan (Blora) tahun 1530, Surabaya tahun 1531, Pasuruan tahun 1535. Hampir sebagian besar penyerangan terhadap daerah-daerah tersebut dipimpin oleh Trenggana sendiri.
Antara tahun 1541-1542 Demak menaklukkan Lamongan, Blitar, dan Wirasaba (Mojoagung, Jombang). Gunung Penanggungan yang menjadi pusat sisa-sisa pelarian Majapahitdirebut tahun 1543. Kemudian Kerajaan Sengguruh di Malang, yang pernah menyerang Giri Kedaton, dikalahkan tahun 1545.
EKSPEDISI ke BANJARMASIN
Pada tahun 1526 Raja Demak yang diduga adalah Trenggana alias Tung Ka lo[2][3] telah megirimkan seribu pasukan untuk membantu Pangeran Samudera untuk berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung penguasa Kerajaan Negara Daha terakhir.
Kemenangan diraih oleh Pangeran Samudera sebagai Sultan Banjarmasin I, sedangkan Pangeran Tumenggung diizinkan menetap di pedalaman yaitu daerah Alay dengan seribu penduduk.
Hikayat Banjar : Maka Pangeran Samudera itu, sudah tetap kerajaannya di Banjarmasih itu, maka masuk Islam.
Diislamkan oleh Penghulu Demak itu. Maka waktu itu ada orang negeri Arab datang, maka dinamainya Pangeran Samudera itu Sultan Suryanullah. Banyak tiada tersebut. Maka Penghulu Demak dengan Menteri Demak itu disuruh Sultan Suryanullah kembali.
Maka orang Demak yang mati berperang ada dua puluh itu, disilih laki-laki dan perempuan yang dapat [dari] menangkap, tertangkap tatkala berperang itu, orang empat puluh. Maka Penghulu Demak dan Menteri Demak serta segala kaumnya sama dipersalin.
Yang terlebih dipersalinnya itu penghulunya, karena itu yang mengislamkan. Serta persembah Sultan Suryanullah emas seribu tahil, intan dua puluh biji, lilin dua puluh pikul, pekat seribu galung, damar seribu kindai, tetudung seribu buah, tikar seribu kodi, kajang seribu bidang.
Sesudah itu maka orang Demak itu kembali. Itulah maka sampai sekarang ini di Demak dan Tadunan itu ada asalnya anak-beranak cucu-bercucu itu asal orang Nagaraitu; tiada lagi tersebut.
SUNAN KALIJAGA
Pada tahun 1543 Trenggana mengundang Sunan Kalijaga pindah ke Demak. Sunan Kalijaga sendiri sebelumnya membantu Sunan Gunung Jati berdakwah di Cirebon.
Beberapa waktu kemudian terjadi perbedaan pendapat antara Sunan Kalijaga dengan Sunan Kudus dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Dalam hal ini Trenggana lebih memilih pendapat Sunan Kalijaga. Akibatnya, Sunan Kudus kecewa dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai imam Masjid Agung Demak.
Sunan Kalijaga diangkat sebagai imam baru dan diberi tanah perdikan di Kadilangu.
WAFATNYA SULTAN TRENGGANA
Berita kematian Trenggana ditemukan dalam catatan seorang Portugis bernama Fernandez Mendez Pinto.
Pada tahun 1546 Trenggana menyerang Panarukan, Situbondo yang saat itu dikuasai Blambangan. Sunan Gunung Jati membantu dengan mengirimkan gabungan prajurit Cirebon, Banten, dan Jayakarta sebanyak 7.000 orang yang dipimpin Fatahillah. Mendez Pinto bersama 40 orang temannya saat itu ikut serta dalam pasukan Banten.
Pasukan Demak sudah mengepung Panarukan selama tiga bulan, tetapi belum juga dapat merebut kota itu. Suatu ketika Trenggana bermusyawarah bersama para adipati untuk melancarkan serangan selanjutnya. Putra bupati Surabaya yang berusia 10 tahun menjadi pelayannya.
Anak kecil itu tertarik pada jalannya rapat sehingga tidak mendengar perintah Trenggana. Trenggana marah dan memukulnya. Anak itu secara spontan membalas menusuk dada Trenggana memakai pisau. Sultan Demak itu pun tewas seketika dan segera dibawa pulang meninggalkan Panarukan.
WALLOHUA'LAM BISSHOWAB
Di bawah Trenggana, wilayah kekuasaan Demak meluas sampai ke Jawa Timur.
Gelar "Sultan" yang diberinya dalam tradisi Jawa sebetulnya belum disandang pada masa itu. Di Jawa, penguasa yang pertama memakai gelar "Sultan" adalah Pangeran Ratudari Banten, tahun 1638.
BIOGRAFI SULTAN TRENGGONO
Dalam tradisi Jawa, Trenggana adalah putra Raden Patah pendiri Demak yang lahir dari permaisuri Ratu Asyikah putri Sunan Ampel. Menurut Suma Oriental, ia dilahirkan sekitar tahun 1483. Ia merupakan adik kandung Pangeran Sabrang Lor/Raden Surya/Sultan Surya Alam, raja Demak sebelumnya (versi Serat Kanda).
Trenggana memiliki beberapa orang putra dan putri. Diantaranya yang paling terkenal ialah Sunan Prawoto yang menjadi raja penggantinya, Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati Jepara, Ratu Mas Cempaka yang menjadi istri Sultan Hadiwijaya, dan Pangeran Timur yang berkuasa sebagai adipati di wilayah Madiun dengan gelar Rangga Jumena.
KENAIKAN TAHTA
Sepeninggal Pangeran Sabrang Lor tahun 1521 terjadi perebutan takhta antara kedua adiknya, yaitu Raden Kikin dan Raden Trenggana. Putra sulung Trenggana yaitu Raden Mukmin alias Muk Ming (nama kecil Sunan Prawoto) mengirim utusan membunuh Raden Kikin di tepi sungai. Sejak itu Raden Kikin terkenal sebagai Pangeran Sekar Seda ing Lepen (artinya, "bunga yang gugur di sungai").
Pada tahun 1524 datang seorang pemuda dari Pasai bernama Fatahillah. Trenggana menyukainya dan menikahkan pemuda itu dengan adiknya, yaitu Ratu Pembayun (janda Pangeran Jayakelana putra Sunan Gunung Jati).
Sebaliknya, Fatahillah juga memperkenalkan pemakaian gelar bernuansa Arab sebagaimana yang lazim dipakai oleh raja-raja Islam di Sumatra. Maka, Trenggana kemudian juga bergelar Sultan Ahmad Abdullah Arifin.
Tokoh Fatahillah inilah yang pada tahun 1527 dikirim membantu Sunan Gunung Jati raja Cirebon menghadapi Pajajaran dan Portugis. Ia berhasil membebaskan pelabuhan Sunda Kelapa dan mengganti namanya menjadi Jayakarta atau Jakarta.
PENAKLUKAN MAJAPAHIT
Upacara pernikahan Fatahillah tahun 1524 dikejutkan dengan berita kematian Sunan Ngudung dalam perang melawan Majapahit. Adapun ibu kota Majapahit saat itu sudah pindah ke Daha di bawah pemerintahan Girindrawardhana. Raja Majapahit ini hanyalah bersifat simbol, karena pemerintahan dikendalikan penuh oleh Patih Hudara. Sang Patih juga menjalin persahabatan dengan Portugis untuk memerangi Demak.
Akhirnya pada tahun 1527 pasukan Demakdipimpin Sunan Kudus (putra Sunan Ngudung) berhasil mengalahkan Majapahit. Kerajaan yang pernah berjaya pada masa lalu itu akhirnya musnah sama sekali. Terjadi arus pelarian besar-besaran dari kerabat kerajaan Majapahit, hal ini disebabkan mereka takut akan dihukum karena dukungan mereka pada Girindrawardhana saat ia mengkudeta Brawijaya pada tahun 1478.
Tampaknya ibukota Daha juga mengalami nasib yang sama dengan Trowulan, hal ini merupakan pembalasan keturunan Brawijaya yang menjadi penguasa Demak atas tindakan Girindrawardhana pada saat ia merebut tahta Majapahit.
Selain itu Tuban juga ditaklukkan pada tahun yang sama. Penguasa Tuban menurut catatan Portugis bernama Pate Vira, seorang muslimtetapi setia kepada Majapahit. Berita ini menunjukkan kalau perang antara Demak dan Majapahit dilandasi persaingan kekuasaan, bukan karena sentimen antara agama Islamdan Hindu.
Pada tahun 1528 Trenggana menaklukkan Wirasari, kemudian Gagelang atau Gelanggelang (nama sekarang: Madiun) tahun 1529, Medangkungan (Blora) tahun 1530, Surabaya tahun 1531, Pasuruan tahun 1535. Hampir sebagian besar penyerangan terhadap daerah-daerah tersebut dipimpin oleh Trenggana sendiri.
Antara tahun 1541-1542 Demak menaklukkan Lamongan, Blitar, dan Wirasaba (Mojoagung, Jombang). Gunung Penanggungan yang menjadi pusat sisa-sisa pelarian Majapahitdirebut tahun 1543. Kemudian Kerajaan Sengguruh di Malang, yang pernah menyerang Giri Kedaton, dikalahkan tahun 1545.
EKSPEDISI ke BANJARMASIN
Pada tahun 1526 Raja Demak yang diduga adalah Trenggana alias Tung Ka lo[2][3] telah megirimkan seribu pasukan untuk membantu Pangeran Samudera untuk berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung penguasa Kerajaan Negara Daha terakhir.
Kemenangan diraih oleh Pangeran Samudera sebagai Sultan Banjarmasin I, sedangkan Pangeran Tumenggung diizinkan menetap di pedalaman yaitu daerah Alay dengan seribu penduduk.
Hikayat Banjar : Maka Pangeran Samudera itu, sudah tetap kerajaannya di Banjarmasih itu, maka masuk Islam.
Diislamkan oleh Penghulu Demak itu. Maka waktu itu ada orang negeri Arab datang, maka dinamainya Pangeran Samudera itu Sultan Suryanullah. Banyak tiada tersebut. Maka Penghulu Demak dengan Menteri Demak itu disuruh Sultan Suryanullah kembali.
Maka orang Demak yang mati berperang ada dua puluh itu, disilih laki-laki dan perempuan yang dapat [dari] menangkap, tertangkap tatkala berperang itu, orang empat puluh. Maka Penghulu Demak dan Menteri Demak serta segala kaumnya sama dipersalin.
Yang terlebih dipersalinnya itu penghulunya, karena itu yang mengislamkan. Serta persembah Sultan Suryanullah emas seribu tahil, intan dua puluh biji, lilin dua puluh pikul, pekat seribu galung, damar seribu kindai, tetudung seribu buah, tikar seribu kodi, kajang seribu bidang.
Sesudah itu maka orang Demak itu kembali. Itulah maka sampai sekarang ini di Demak dan Tadunan itu ada asalnya anak-beranak cucu-bercucu itu asal orang Nagaraitu; tiada lagi tersebut.
SUNAN KALIJAGA
Pada tahun 1543 Trenggana mengundang Sunan Kalijaga pindah ke Demak. Sunan Kalijaga sendiri sebelumnya membantu Sunan Gunung Jati berdakwah di Cirebon.
Beberapa waktu kemudian terjadi perbedaan pendapat antara Sunan Kalijaga dengan Sunan Kudus dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Dalam hal ini Trenggana lebih memilih pendapat Sunan Kalijaga. Akibatnya, Sunan Kudus kecewa dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai imam Masjid Agung Demak.
Sunan Kalijaga diangkat sebagai imam baru dan diberi tanah perdikan di Kadilangu.
WAFATNYA SULTAN TRENGGANA
Berita kematian Trenggana ditemukan dalam catatan seorang Portugis bernama Fernandez Mendez Pinto.
Pada tahun 1546 Trenggana menyerang Panarukan, Situbondo yang saat itu dikuasai Blambangan. Sunan Gunung Jati membantu dengan mengirimkan gabungan prajurit Cirebon, Banten, dan Jayakarta sebanyak 7.000 orang yang dipimpin Fatahillah. Mendez Pinto bersama 40 orang temannya saat itu ikut serta dalam pasukan Banten.
Pasukan Demak sudah mengepung Panarukan selama tiga bulan, tetapi belum juga dapat merebut kota itu. Suatu ketika Trenggana bermusyawarah bersama para adipati untuk melancarkan serangan selanjutnya. Putra bupati Surabaya yang berusia 10 tahun menjadi pelayannya.
Anak kecil itu tertarik pada jalannya rapat sehingga tidak mendengar perintah Trenggana. Trenggana marah dan memukulnya. Anak itu secara spontan membalas menusuk dada Trenggana memakai pisau. Sultan Demak itu pun tewas seketika dan segera dibawa pulang meninggalkan Panarukan.
WALLOHUA'LAM BISSHOWAB